Si Pitung: Sang Pembela Rakyat
Namun, hidup di bawah penjajahan Belanda yang kejam membuat rakyat Betawi hidup dalam kemiskinan. Pajak yang tinggi dan aturan yang menindas membuat banyak rakyat kehilangan tanah mereka. Para tuan tanah kaya yang bekerja sama dengan Belanda semakin serakah, mengambil hasil bumi dari para petani miskin. Melihat penderitaan rakyat yang semakin parah, Pitung tidak bisa tinggal diam.
Suatu malam, setelah mendengar kisah sedih seorang tetangganya yang dipaksa menyerahkan sawahnya kepada tuan tanah, Pitung berbicara dengan ayahnya, Haji Piun, yang juga seorang ulama.
Pitung: "Babe, sampai kapan kita akan diam saja? Rakyat semakin menderita, sementara orang kaya dan Belanda terus menindas kita. Aku tak bisa membiarkan ini terjadi lagi."
Haji Piun: "Pitung, sabar adalah kekuatan terbesar. Tapi jika kau benar-benar ingin membantu rakyat, lakukanlah dengan kebijaksanaan, bukan sekadar kekuatan."
Pitung merenungkan nasihat ayahnya. Ia tahu bahwa ia harus bertindak, tapi bukan dengan kekerasan semata. Maka, ia mulai merencanakan perlawanan dengan cara yang cerdik.
Pitung bersama sahabat-sahabatnya yang setia, Djiih dan Rojali, mulai melancarkan aksinya. Mereka menyelinap masuk ke rumah-rumah tuan tanah kaya di malam hari, mencuri harta yang telah dikumpulkan secara tidak adil dari rakyat. Namun, Pitung tidak pernah mengambil harta untuk dirinya sendiri. Semua barang curian itu ia bagikan kepada warga miskin di kampung-kampung Betawi.
Dalam satu aksinya, Pitung menyusup ke rumah Tuan Vermoot, seorang Belanda yang sangat kejam dan terkenal suka menyiksa buruh-buruh pribumi.
Rojali: "Pitung, ini rumahnya. Tapi penjagaannya ketat, banyak serdadu Belanda berkeliaran."
Pitung: "Jangan khawatir, kita lakukan dengan cepat dan tenang. Ingat, kita tidak boleh melukai siapapun tanpa alasan."
Mereka berhasil masuk ke rumah Tuan Vermoot dan mengambil sejumlah besar emas dan uang yang telah diperas dari para petani. Namun, Pitung selalu meninggalkan tanda berupa kain merah sebagai simbol bahwa ia tidak mencuri untuk dirinya sendiri, melainkan untuk membela rakyat kecil.
Kabar tentang aksi Pitung tersebar luas. Rakyat mulai menganggapnya sebagai pahlawan, sementara para tuan tanah dan pemerintah Belanda menganggapnya sebagai musuh besar.
Pemerintah kolonial Belanda sangat marah dengan tindakan Pitung. Mereka mengirim seorang opsir bernama Kapten Schout untuk menangkapnya.
Kapten Schout: "Si Pitung ini bukan hanya pencuri, dia adalah ancaman bagi ketertiban. Tangkap dia hidup atau mati!"
Namun, Pitung tidak mudah ditangkap. Berkat kepandaiannya dalam silat yang ia pelajari dari Haji Naipin, guru besarnya, Pitung selalu bisa lolos dari jebakan dan kejaran Belanda. Dalam beberapa kali penyergapan, Pitung bahkan berhasil mengalahkan para serdadu dengan tangannya sendiri, tanpa harus melukai mereka secara berlebihan.
Suatu malam, Pitung dan sahabat-sahabatnya dikepung oleh pasukan Belanda di sebuah rumah warga. Mereka bertempur habis-habisan, tapi jumlah musuh terlalu banyak. Dalam keheningan, Pitung berbicara kepada sahabatnya.
Pitung: "Djiih, Rojali, kalian harus pergi. Aku akan menghadapi mereka sendiri. Ini bukan akhir dari perjuangan kita, tapi kalian harus bertahan hidup untuk melanjutkan perjuangan ini."
Dengan berat hati, Djiih dan Rojali pergi, meninggalkan Pitung yang tetap bertarung sendirian. Dalam pertarungan itu, Pitung berhasil melumpuhkan beberapa serdadu, namun akhirnya ia ditangkap karena tertembak di kaki.
Pitung ditahan di Benteng Meester Cornelis, tempat ia disiksa dan diinterogasi. Meskipun dipukuli dan disiksa, Pitung tidak pernah mengungkapkan nama-nama sahabatnya atau rencana perlawanan berikutnya. Bahkan dalam keadaan tertindas, hatinya tetap teguh untuk membela rakyat.
Di pengadilan, Pitung dihadapkan kepada Tuan Vermoot yang ingin melihatnya dihukum mati.
Tuan Vermoot: "Pitung, apa yang kau lakukan hanyalah tindakan pengecut! Kau mencuri dari orang kaya, tapi kau tahu, tidak ada yang bisa melawan kekuasaan kami!"
Pitung: "Aku bukan pengecut, Tuan. Aku mencuri untuk mengembalikan apa yang seharusnya milik rakyat. Jika itu adalah kejahatan di mata kalian, maka aku bangga menjadi 'penjahat' yang membela orang-orang yang tertindas."
Pengadilan itu tidak adil, dan Pitung dijatuhi hukuman mati. Namun, sebelum eksekusi dilakukan, ia meminta satu permintaan terakhir.
Pitung: "Izinkan aku berdoa, bukan untuk diriku, tapi untuk rakyat Betawi yang masih menderita."
Doa Pitung adalah doa pengorbanan, mengharapkan keselamatan bagi rakyat yang ia cintai. Ketika akhirnya Pitung dieksekusi, kisahnya tidak berhenti. Rakyat Betawi mengenangnya sebagai pahlawan sejati, pembela kebenaran, yang rela berkorban demi rakyatnya.
Setelah kematiannya, nama Pitung menjadi legenda. Ia bukan sekadar pencuri, tetapi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Rakyat Betawi yang mendengar kisahnya terinspirasi untuk terus melawan penindasan, baik dari tuan tanah kaya maupun pemerintah kolonial. Meskipun Belanda berusaha menghapus namanya dari sejarah, kisah Si Pitung tetap hidup di hati masyarakat sebagai pahlawan yang tak pernah menyerah.
Posting Komentar untuk "Si Pitung: Sang Pembela Rakyat"