Legenda Rawa Pening dan Baru Klinthing
Suatu hari di Desa Ngasem, Nyai Selakanta duduk di beranda rumahnya, menatap hamparan sawah yang menguning. Kerinduan untuk memiliki anak semakin mendesak di hatinya. Sore itu, ia memutuskan untuk berbicara dengan suaminya, Ki Hajar, tentang keinginannya.
"Ki, sudah lama kita hidup bersama, tapi kita belum juga dikaruniai anak," ucap Nyai Selakanta dengan suara penuh harap.
Ki Hajar yang sedang merapikan peralatan tani, menatap istrinya dengan lembut. "Aku pun merasakan hal yang sama, Nyai. Mungkin inilah saatnya aku mencoba meminta petunjuk kepada para dewa. Aku akan bertapa di lereng Gunung Telomoyo, siapa tahu ada jalan yang bisa membimbing kita."
Nyai Selakanta mengangguk setuju meskipun hatinya dipenuhi rasa khawatir. "Tapi, Ki, bertapalah jangan terlalu lama. Aku tak ingin kehilanganmu."
Ki Hajar tersenyum, mengusap tangan istrinya. "Jangan khawatir, Nyai. Aku akan kembali membawa kabar baik."
Maka, berangkatlah Ki Hajar ke Gunung Telomoyo. Hari demi hari berlalu, Nyai Selakanta menunggu dengan sabar, namun suaminya tak kunjung kembali. Malam itu, ketika sedang duduk di dalam rumah, Nyai Selakanta merasa perutnya sakit luar biasa. Ia bingung dan panik, namun tak ada orang yang bisa dimintai tolong.
Tiba-tiba, terdengar suara halus di telinganya. "Jangan takut, Nyai. Aku akan lahir sekarang."
Nyai Selakanta semakin bingung. "Siapa... siapa yang berbicara?"
Tak lama kemudian, rasa sakit itu semakin menjadi, dan betapa terkejutnya Nyai Selakanta ketika ia melihat seekor naga kecil keluar dari perutnya. Naga itu memiliki mata yang cerah dan kulit bersisik hijau keemasan.
"Anakku...," gumam Nyai Selakanta dengan perasaan campur aduk antara bahagia dan takut.
Naga kecil itu berbicara dengan suara lembut, "Aku adalah anakmu, Ibu. Namaku Baru Klinthing."
"Baru Klinthing...," Nyai Selakanta mengulang nama itu sambil menatap naga kecil di depannya. "Kenapa kamu terlahir dalam wujud seperti ini?"
Baru Klinthing menatap ibunya dengan tatapan bijak. "Ini adalah takdirku, Ibu. Tapi jangan khawatir, aku bisa berbicara dan berpikir seperti manusia."
Meski terkejut, Nyai Selakanta menerima keadaan tersebut dan merawat Baru Klinthing dengan penuh kasih sayang, meski harus sembunyi-sembunyi dari warga desa. Namun, semakin hari, semakin sulit bagi Nyai Selakanta untuk menyembunyikan keberadaan anaknya. Ketika Baru Klinthing tumbuh semakin besar, ia mulai penasaran tentang ayahnya.
"Ibu, di manakah ayahku? Mengapa aku tidak pernah melihatnya?" tanya Baru Klinthing pada suatu hari.
Nyai Selakanta terdiam sejenak, lalu menjawab, "Ayahmu sedang bertapa di lereng Gunung Telomoyo. Mungkin sudah saatnya kamu menemuinya. Bawa tombak ini, pusaka milik ayahmu, sebagai bukti bahwa kamu adalah anaknya."
Baru Klinthing menerima tombak tersebut dengan hormat dan berangkat menuju Gunung Telomoyo. Setelah beberapa hari perjalanan, ia akhirnya tiba di tempat ayahnya bertapa. Melihat seekor naga mendekat, Ki Hajar awalnya tak percaya.
"Siapa kamu, dan apa yang kamu inginkan?" tanya Ki Hajar tegas.
"Ayah, aku adalah Baru Klinthing, anakmu. Ibu yang menyuruhku untuk menemui Ayah dan menyerahkan pusaka ini sebagai bukti," jawab Baru Klinthing sambil menyerahkan tombak tersebut.
Ki Hajar memandang tombak itu dengan seksama. "Ini memang pusaka milikku. Tapi aku belum bisa percaya sepenuhnya. Jika kamu benar anakku, lingkarilah Gunung Telomoyo ini dengan tubuhmu!"
Baru Klinthing menatap ayahnya, lalu dengan kekuatan yang dimilikinya, ia mulai melingkari Gunung Telomoyo. Ki Hajar terkejut melihat kesaktian putranya. "Baiklah, aku mengakui bahwa kamu adalah anakku. Tapi kamu harus bertapa di Bukit Tugur, supaya kelak bisa berubah menjadi manusia."
Baru Klinthing menurut dan pergi ke Bukit Tugur untuk bertapa. Sementara itu, di Desa Pathok, yang tak jauh dari Bukit Tugur, para penduduk tengah mempersiapkan pesta sedekah bumi. Namun, kesombongan dan keangkuhan mereka membuat mereka berburu hewan tanpa ampun di Bukit Tugur.
Ketika mereka menemukan Baru Klinthing, yang sedang bertapa, tanpa rasa kasihan mereka menangkap dan memotong-motong tubuhnya untuk dijadikan hidangan pesta. Namun, tak ada yang tahu bahwa naga itu tidak mati. Di tengah pesta, seorang anak laki-laki berbau amis dengan tubuh penuh luka datang menghampiri mereka.
"Pak, Bu, bolehkah aku meminta sedikit makanan? Aku sangat lapar," pinta anak itu dengan suara lemah.
Namun, warga desa justru mengusir dan memakinya. "Pergi kau anak dekil! Tidak ada makanan untukmu di sini!"
Anak itu meninggalkan pesta dengan hati yang sedih. Di perjalanan, ia bertemu dengan Nyi Latung, seorang janda tua yang tinggal di pinggiran desa. Melihat anak yang penuh luka itu, Nyi Latung merasa iba dan mengajaknya ke rumah.
"Masuklah, Nak. Kamu terlihat sangat lelah. Mari makan di sini," ujar Nyi Latung sambil menyuguhkan makanan.
Baru Klinthing tersenyum penuh terima kasih. "Terima kasih, Nek. Aku akan membalas kebaikanmu suatu hari nanti. Tapi sekarang, biarkan aku memberimu sebuah peringatan. Jika nanti mendengar suara gemuruh, siapkan lesung untuk menyelamatkan diri."
Nyi Latung mengangguk meski tak sepenuhnya memahami maksudnya. Setelah makan, Baru Klinthing kembali ke desa. Di tengah keramaian pesta, ia menancapkan sebatang lidi ke tanah dan menantang warga untuk mencabutnya.
"Heh, lihat! Siapa yang bisa mencabut lidi ini dari tanah?" teriaknya.Para warga mencoba mencabut lidi tersebut, namun tak ada yang berhasil. Akhirnya, Baru Klinthing mencabut lidi itu dengan mudah, dan seketika suara gemuruh menggetarkan tanah. Dari bekas tancapan lidi itu, air menyembur keluar dengan deras, menenggelamkan seluruh desa.
Nyi Latung, yang telah siap dengan lesungnya, berhasil menyelamatkan diri. Di atas lesung yang mengapung seperti perahu, ia melihat seluruh desa tenggelam menjadi sebuah rawa besar. Baru Klinthing yang kini kembali ke wujud naganya, menghampiri Nyi Latung.
"Nek, aku akan menjaga Rawa Pening ini. Terima kasih atas kebaikanmu," ucapnya.
Dengan itu, Baru Klinthing kembali ke dalam air, menjaga Rawa Pening, sementara Nyi Latung memandang dengan penuh keheranan dan rasa syukur.
Posting Komentar untuk "Legenda Rawa Pening dan Baru Klinthing"