Asal Usul Pohon Sagu dan Palem
Di sebuah desa terpencil di wilayah Donggala, Sulawesi Tengah, hiduplah sepasang suami istri bersama anak lelaki mereka yang masih kecil. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana di tepi hutan Dolo, menjalani kehidupan yang serba kekurangan. Untuk bertahan hidup, mereka mengandalkan hasil alam seperti buah-buahan dan tanaman liar yang mereka kumpulkan dari hutan.
Seiring berjalannya waktu, sang Suami merasa jenuh dengan keadaan hidup yang monoton dan penuh keterbatasan. Suatu malam, setelah makan malam, ia memutuskan untuk berbicara dengan istrinya tentang rencana yang telah lama dipikirkannya.
“Dik, aku sudah lama berpikir tentang ini,” ujar sang Suami sambil menatap istrinya dengan serius.
“Apa itu, Bang? Ada apa?” jawab sang Istri sambil menaruh piring yang baru saja dicucinya.
“Bagaimana kalau kita mencoba berkebun? Aku lelah hidup seperti ini terus,” kata sang Suami dengan penuh harap.
Mendengar rencana itu, sang Istri merasa sangat senang. Ia berharap suaminya akan lebih rajin bekerja dan kehidupan mereka akan membaik.
“Bang, aku senang mendengarnya. Tapi kita mau berkebun di mana? Kita tidak punya lahan, bukan?” tanya sang Istri dengan sedikit ragu.
“Jangan khawatir, Dik. Besok aku akan pergi ke hutan dan mencari tempat yang cocok untuk dijadikan lahan perkebunan,” jawab sang Suami dengan penuh keyakinan.
“Baiklah, Bang. Aku akan mendukungmu. Semoga usaha kita ini berhasil,” sahut sang Istri sambil tersenyum.
Keesokan harinya, sang Suami bangun lebih pagi dan bersiap untuk pergi ke hutan. Sebelum berangkat, ia berpamitan kepada istrinya.
“Dik, aku pergi dulu ya. Semoga aku bisa menemukan lahan yang bagus,” ucapnya sambil menggendong parang di pundaknya.
“Hati-hati di jalan, Bang. Jangan lupa bawa pulang buah-buahan kalau menemukan,” jawab sang Istri sambil tersenyum.
Setelah beberapa waktu berjalan menyusuri hutan, sang Suami akhirnya menemukan sebuah tempat yang subur dan cocok untuk dijadikan perkebunan. Saat itu, ia merasa optimis dan bertekad untuk segera memulai pekerjaannya. Namun, ketika kembali ke rumah, ia tidak segera memberi tahu istrinya tentang niatnya yang sebenarnya.
Saat sore menjelang, sang Suami kembali ke rumah dengan membawa beberapa buah hutan untuk persiapan makan malam. Sang Istri menyambutnya dengan gembira, penuh harapan bahwa usaha mereka akan membawa perubahan.
“Bagaimana hasilnya, Bang? Apakah Abang menemukan lahan yang baik?” tanya sang Istri dengan penuh antusias sambil menyiapkan air minum untuk suaminya.
“Iya, Dik. Aku sudah menemukan tempat yang bagus untuk kita berkebun,” jawab sang Suami sambil minum air.
“Syukurlah, Bang! Kita bisa mulai berkebun dan menanam sayur-sayuran. Aku sudah tak sabar untuk membantu,” kata sang Istri dengan wajah penuh semangat.
Namun, keesokan harinya, saat sang Suami berangkat ke hutan dengan niat bekerja, tiba-tiba perasaan malas mulai merasuk. Ia hanya duduk termenung di bawah pohon, memandang pepohonan tanpa melakukan apa pun. Setiap kali istrinya bertanya tentang perkembangan lahan, ia selalu menjawab, "Belum selesai."
Setelah beberapa hari berlalu tanpa ada hasil yang nyata, sang Istri mulai merasa khawatir. Suatu hari, ia memutuskan untuk menyusul suaminya ke hutan. Sesampainya di sana, ia mendapati suaminya masih duduk diam di tempat yang sama, tanpa melakukan apa pun. Kecewa dan marah, ia pun menegur suaminya.
“Bang! Apa yang sedang Abang lakukan? Kenapa Abang tidak bekerja?” tanya sang Istri dengan nada marah.
Sang Suami terkejut mendengar suara istrinya dan buru-buru berdiri. Namun, ia tidak menjawab pertanyaan istrinya. Ia malah langsung pulang dengan wajah marah, meninggalkan istrinya yang kebingungan.
Sesampai di rumah, kemarahan sang Suami meledak. Ia melampiaskannya dengan membanting barang-barang yang ada di dalam rumah. Sang Istri, yang tidak tahan lagi dengan kelakuan suaminya, berlari menuju hutan sambil menangis. Sesampainya di tengah hutan, ia langsung menceburkan diri ke dalam sebuah telaga.
Tersadar akan kesalahannya, sang Suami segera membawa anak mereka menyusul istrinya ke hutan.
“Anakku, ayo kita susul ibumu ke hutan! Cepat!” ajak sang Ayah sambil menarik tangan anaknya.
“Kenapa, Ayah? Ada apa dengan Ibu?” tanya sang Anak dengan bingung.
“Ayah tidak boleh kehilangan dia, ayo cepat!” jawab sang Ayah dengan suara gemetar.
Sesampainya di tengah hutan, mereka melihat sang Istri berada di tengah telaga. Tubuhnya perlahan berubah menjadi pohon sagu. Melihat itu, sang Suami dan anaknya berlari mendekati telaga.“Maafkan aku, Dik! Kembalilah! Jangan tinggalkan aku!” teriak sang Suami dengan air mata bercucuran.
“Ibu..., Ibu.... Aku ikut!” teriak sang Anak sambil menangis.
“Kamu di sini saja, Anakku! Tidak usah ikut ibumu, sebentar lagi dia kembali,” bujuk sang Ayah sambil memeluk anaknya erat-erat.
“Tidak, Ayah! Aku mau ikut Ibu,” sang Anak terus meronta, berusaha melepaskan diri dari pelukan ayahnya.
Namun, ketika sang Ayah lengah, si anak berlari dan terjun masuk ke dalam telaga. Dalam sekejap, tubuhnya pun berubah menjadi sebatang pohon sagu, seperti ibunya.
Setelah melihat peristiwa itu, barulah sang Suami sadar dan menyesali semua perbuatannya.
“Maafkan aku, Istriku! Maafkan aku, Anakku! Aku sangat menyesal atas semua perbuatanku kepada kalian,” ucapnya sambil menangis berderai air mata.
Berulang kali sang Suami meminta maaf kepada istri maupun kepada anaknya, namun semuanya sudah terlambat. Istri dan anaknya telah menjelma menjadi pohon sagu. Tak sanggup hidup sendirian tanpa mereka, akhirnya sang Suami pun ikut terjun ke dalam telaga itu. Ketika itu pula ia pun berubah menjadi sebatang pohon palem, yang tumbuh berdampingan dengan pohon sagu yang merupakan jelmaan istri dan anaknya. Ketiga pohon itu kini berdiri sebagai saksi bisu dari sebuah keluarga yang hancur karena kemalasan dan penyesalan yang datang terlambat.
Posting Komentar untuk "Asal Usul Pohon Sagu dan Palem"