Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Asal usul Buleleng dan Singaraja

Dahulu kala, di Pulau Bali, berdirilah sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja Sri Bagening, raja bijaksana yang dicintai rakyatnya. Bersama permaisurinya, Ni Luh Pasek, mereka dikaruniai seorang putra bernama I Gede Pasekan. Sejak kecil, Gede Pasekan diasuh oleh seorang kepercayaan kerajaan, Ki Jelantik Bogol, yang merawatnya dengan penuh kasih sayang layaknya anak sendiri.

Saat Gede Pasekan tumbuh menjadi pemuda, ia dikenal ramah dan rendah hati. Meski anak seorang raja, ia kerap bergaul dengan rakyat biasa, berjalan-jalan sendirian tanpa pengawalan. Suatu hari, saat usianya menginjak dua puluh tahun, Raja Sri Bagening memanggilnya ke dalam istana.

“Anakku, engkau sudah dewasa sekarang,” ujar Sri Bagening sambil menatap putranya dengan serius.

“Ayah, apakah ada yang ingin ayah sampaikan kepadaku?” tanya Gede Pasekan dengan sopan.

Raja tersenyum tipis dan melanjutkan, “Sudah waktunya engkau pergi ke Desa Panji, tempat kelahiran ibumu.”

Gede Pasekan terkejut dan bertanya, “Mengapa aku harus pergi ke sana, Ayah? Apakah ada tugas penting yang harus kulakukan di desa itu?”

Raja menjelaskan, “Desa Panji adalah tanah leluhur ibumu, Ni Luh Pasek. Di sana, engkau akan menemukan bagian dari takdirmu. Aku juga memberikanmu dua pusaka kerajaan untuk menemani perjalananmu.”

Raja kemudian menyerahkan dua pusaka: sebuah keris bernama Ki Baru Semang dan tombak Ki Tunjung Tutur. “Bawalah ini bersamamu. Mereka akan melindungimu,” ujar Sri Bagening sambil menyerahkan kedua pusaka itu.

Dengan hormat, Gede Pasekan menerima pusaka tersebut dan berkata, “Terima kasih, Ayah. Aku akan menjalankan tugas ini dengan sepenuh hati.”

Setelah berpamitan dengan ayah dan ibunya, Gede Pasekan memulai perjalanannya. Ia mengenakan pakaian sederhana agar tidak dikenali sebagai seorang pangeran, dan membawa pusaka keris dan tombak yang diselipkan di pinggangnya.

Suatu malam, setelah beberapa hari berjalan, Gede Pasekan memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon besar. Dalam tidurnya, tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang mengawasinya. Saat membuka mata, ia terkejut mendapati dirinya sudah berada di pundak seorang raksasa besar.

“Siapa engkau?! Kenapa engkau membawaku?” tanya Gede Pasekan dengan suara tegas meskipun hatinya berdebar.

Raksasa itu tidak menjawab. Ia terus membawa Gede Pasekan menuju puncak sebuah bukit yang tinggi. Dari sana, Gede Pasekan bisa melihat pemandangan luas—gunung yang menjulang tinggi di kejauhan dan lautan luas di hadapannya. Setelah tiba di puncak, raksasa itu berhenti dan akhirnya berbicara.

“Lihatlah ke arah selatan dan utara,” kata raksasa dengan suara berat. “Wilayah itu kelak akan menjadi tempat di mana engkau akan memerintah.”

Gede Pasekan terdiam, memandang pemandangan indah di sekelilingnya. “Tempat ini… akan menjadi kekuasaanku?” gumamnya.

Raksasa itu kemudian menurunkannya ke tanah dan berkata, “Ingatlah kata-kataku. Di sinilah takdirmu berada.” Setelah itu, raksasa tersebut perlahan menghilang, meninggalkan Gede Pasekan dalam kebingungan.

Dengan pikiran yang bercampur aduk, Gede Pasekan melanjutkan perjalanannya menuju Desa Panji. Ia bertanya-tanya apa arti dari kata-kata raksasa itu dan bagaimana hubungannya dengan masa depannya.

Setelah tiba di Desa Panji, Gede Pasekan berjalan-jalan di tepi pantai untuk menenangkan pikirannya. Namun, tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat sebuah kapal besar terjebak di antara karang. Ketika ia sedang mengamati kapal tersebut, seorang pria mendekatinya dengan tergesa-gesa.

“Ki sanak, tolong bantu aku!” kata pria itu dengan suara penuh kekhawatiran. “Aku adalah nakhoda kapal itu. Kapal kami terjebak di karang, dan penumpang masih terjebak di sana. Sudah banyak yang kucoba, tapi tak ada yang bisa membantu.”

Gede Pasekan melihat kapal yang terjebak itu dan bertanya, “Apa yang bisa kulakukan untuk menolongmu?”

Nakhoda itu dengan putus asa menjawab, “Jika engkau bisa menyelamatkan kapal kami, separuh harta di kapal akan kuberikan kepadamu sebagai tanda terima kasih.”

Gede Pasekan menatap kapal tersebut dan berkata, “Baiklah, aku akan mencoba membantumu.”

Dengan tenang, Gede Pasekan duduk bersila di tepi pantai dan memusatkan seluruh energinya. Ia memegang pusaka keris Ki Baru Semang di tangannya. Tak lama setelah itu, angin mulai berhembus kencang, dan ombak besar datang menerjang, mengangkat kapal itu perlahan dari karang dan membawanya kembali ke perairan yang aman.

Nakhoda kapal, melihat keajaiban yang baru saja terjadi, sangat terharu. “Ki sanak, terima kasih banyak! Engkau telah menyelamatkan kami!” katanya sambil menunduk hormat.

Sesuai janjinya, nakhoda itu memberikan sebagian harta dari kapal kepada Gede Pasekan. Dengan kekayaan itu, Gede Pasekan membangun wilayah baru yang dinamakan Kerajaan Buleleng. Di tengah wilayah tersebut, ia mendirikan istana megah yang banyak ditumbuhi pohon buleleng. Istana itu dinamai Singaraja, yang berarti raja perkasa seperti singa, menggambarkan kekuatannya yang luar biasa.

Sejak saat itu, Gede Pasekan yang dikenal sebagai I Gusti Panji Sakti, memerintah dengan adil dan bijaksana. Wilayah kekuasaannya yang luas makmur, dan namanya dikenal sebagai raja perkasa dan bijaksana yang tak terlupakan sepanjang sejarah Pulau Bali.

Posting Komentar untuk "Asal usul Buleleng dan Singaraja"