Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Biji Padi Sebesar Buah Kelapa

Dahulu kala, di sebuah daerah Teluk Pandak, terjadi sebuah peristiwa yang begitu ajaib dan tidak biasa. Di daerah tersebut, ditemukan sebuah biji padi sebesar buah kelapa. Penduduk setempat tidak pernah tahu dari mana asalnya dan bagaimana biji padi sebesar itu bisa berada di sana. Biji padi yang ditemukan bukanlah padi lengkap dengan batang dan akarnya, melainkan hanya sebuah biji padi yang sudah tertutupi cangkang, mirip dengan biji kelapa.

Suatu hari, seorang penduduk bernama Pak Samin menemukannya di sekitar rumahnya. Dengan penuh keheranan, dia membawa biji padi itu ke balai desa.

“Lihat ini, apakah kalian pernah melihat padi sebesar ini sebelumnya?” tanya Pak Samin kepada para penduduk yang berkumpul.

“Tidak pernah! Ini benar-benar ajaib! Mungkinkah ini titisan dari Dewi Sri?” jawab seorang penduduk dengan penuh kekaguman.

Mendengar itu, Pak Samin dan penduduk lainnya percaya bahwa padi itu adalah titisan dari Dewi Sri, dewi kesuburan dan padi dalam kepercayaan mereka. Kehadiran padi raksasa itu dianggap sebagai berkah dari Dewi Sri, dan mereka merasa mendapat anugerah besar dengan turunnya padi tersebut ke tempat mereka.

Saat musim tanam tiba, penduduk desa memutuskan untuk membawa biji padi sebesar kelapa itu ke sawah yang akan mereka tanami. Kepala desa, Pak Karta, memimpin upacara penanaman padi tersebut.

“Kita semua harus berdoa agar padi ini membawa berkah bagi kita semua,” ujar Pak Karta sambil menanam biji padi raksasa tersebut ke tanah.

“Semoga Tuhan dan Dewi Sri memberikan kita hasil panen yang melimpah,” kata Bu Lastri sambil mengatupkan tangannya dalam doa.

Setelah padi itu ditanam, seluruh masyarakat desa berkumpul di sawah untuk melakukan doa bersama. Mereka memohon berkah dan perlindungan dari Tuhan agar tanaman padi yang mereka tanam tumbuh subur dan menghasilkan panen yang melimpah. Dalam rangkaian upacara tersebut, sekelompok muda-mudi desa membawakan tari Dewi Sri, sebuah tarian tradisional yang diiringi oleh nyanyian dan syair yang penuh doa dan pujian kepada Tuhan.

“Marilah kita memohon keberkahan dan keselamatan kepada Tuhan dan Dewi Sri,” ajak Pak Karta kepada semua yang hadir.

“Nandung, nandung, semoga padi kita subur dan berbuah lebat,” lantun para muda-mudi sambil menari dengan anggun.

Waktu pun terus berlalu, dan akhirnya musim panen tiba. Masyarakat Teluk Pandak kembali berkumpul di sawah, kali ini untuk melakukan panen pertama. Namun, panen ini hanya dilakukan pada sebagian kecil padi, yang akan digunakan untuk acara makan bersama sebagai bentuk syukur atas hasil yang telah mereka dapatkan.

“Lihat, padi ini tumbuh subur! Dewi Sri benar-benar memberkati kita,” kata Pak Samin dengan penuh kegembiraan.

“Jangan lupa, kita harus melantunkan pujian dan syukur kepada Tuhan sebelum kita memulai panen,” tambah Pak Karta.

“Sungguh luar biasa! Kita sangat beruntung,” timpal Bu Lastri sambil menimang-nimang biji padi raksasa titisan Dewi Sri itu.

Setelah padi dituai, proses pengolahan padi dimulai dengan cara tradisional. Padi tersebut diirik dengan kaki, kemudian dijemur di bawah sinar matahari hingga kering. Setelah padi berubah menjadi beras, sebagian dari beras tersebut dimasak dan dipersiapkan untuk acara makan bersama. Sebelum makan, mereka kembali melantunkan syair-syair yang berisi syukur, doa mohon keberkahan, dan permohonan keselamatan kepada Tuhan.

“Kita harus selalu mengingat bahwa berkah ini adalah anugerah dari Tuhan dan Dewi Sri,” ujar Pak Karta saat memulai acara makan bersama.

“Ya, semoga berkah ini terus berlanjut untuk musim-musim panen berikutnya,” kata Pak Samin penuh harap.

Keesokan harinya, setelah acara makan bersama selesai, masyarakat desa secara bersama-sama memanen seluruh padi yang tersisa di sawah. Namun, keajaiban belum berakhir. Setelah seluruh padi selesai dipanen, tiba-tiba tumbuhlah tunas-tunas baru dari bekas batang padi yang sudah dipotong. Tunas-tunas ini tumbuh menjadi padi yang lebih kecil dari padi biasa, dan oleh penduduk setempat, padi ini dinamakan "Salibu."

“Lihat, padi baru tumbuh lagi dari batang yang sudah kita potong!” seru seorang penduduk dengan takjub.

“Ini pasti tanda bahwa kita telah diberkati untuk kedua kalinya!” jawab Pak Karta dengan senyum penuh kebahagiaan.

Meskipun ukurannya lebih kecil, Salibu tetap dianggap sebagai anugerah dan dipanen dengan penuh rasa syukur. Setelah dipisahkan dari cangkangnya, Salibu kemudian digonseng dan ditumbuk hingga berbentuk emping. Proses menggonseng hingga menumbuk Salibu ini menjadi kegiatan sosial yang melibatkan para muda-mudi desa. Mereka melakukannya bersama-sama dari sore hingga malam hari, sambil bercanda dan saling mengenal satu sama lain.

“Siapa tahu, di antara kita ada yang akan berjodoh malam ini,” gurau seorang pemuda sambil menggonseng Salibu.

“Siapa tahu? Dewi Sri mungkin sedang merencanakan sesuatu untuk kita,” jawab seorang gadis dengan malu-malu.

Emping dari Salibu ini kemudian dimakan bersama-sama dalam acara pernikahan muda-mudi yang berjodoh itu. Acara pernikahan ini menjadi simbol dari keberkahan dan kemakmuran yang datang dari Dewi Sri melalui padi raksasa yang mereka temukan. Dengan penuh rasa syukur, masyarakat Teluk Pandak terus mempertahankan tradisi ini dari generasi ke generasi, sebagai wujud penghormatan kepada Dewi Sri dan Tuhan yang telah memberikan mereka berkah yang melimpah.

Posting Komentar untuk "Kisah Biji Padi Sebesar Buah Kelapa"