Aji Saka
Di desa Medang Kawit, hiduplah seorang pemuda bernama Aji Saka, yang sangat kuat, rajin, dan baik hati. Suatu hari, Aji Saka berhasil menolong seorang lelaki tua yang sedang dipukuli oleh dua pria.
Dengan suara bergetar, lelaki tua itu berkata, “Aku berhutang nyawa padamu, anak muda. Preman-preman itu… mereka akan memukuliku sampai mati jika kau tidak turun tangan.”
Aji Saka tersenyum lembut, “Tidak perlu berterima kasih. Itu hanya hal yang benar untuk dilakukan. Tapi katakan padaku, mengapa mereka menyerangmu? Engkau tampak seperti seseorang yang telah mengalami banyak penderitaan.”
Lelaki tua itu menghela napas dalam-dalam, “Aku adalah seorang pengungsi dari Medang Kamulan, sebuah kerajaan yang kini diselimuti oleh kegelapan dan ketakutan. Raja kami, Prabu Dewata Cengkar, adalah seorang tiran yang berpesta dengan memakan daging rakyatnya sendiri. Setiap hari, penasehatnya, Patih Jugul Muda, membawakannya korban baru. Mereka yang bisa, melarikan diri, tetapi banyak yang tetap tinggal, hidup dalam ketakutan.”
Mendengar cerita tentang kekejaman Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka memutuskan untuk membantu rakyat Medang Kamulan.
“Kejahatan seperti ini tidak boleh dibiarkan terus berlangsung. Rakyat Medang Kamulan berhak mendapatkan kedamaian, bukan tirani. Aku akan pergi ke Medang Kamulan dan mengakhiri ini,” kata Aji Saka dengan ekspresi serius.
Dengan mengenakan sorban di kepalanya, Aji Saka berangkat menuju Medang Kamulan.
Perjalanan ke Medang Kamulan tidaklah mulus. Aji Saka harus bertarung selama tujuh hari tujuh malam dengan penjaga iblis hutan karena Aji Saka menolak untuk menjadi budak iblis itu selama sepuluh tahun sebelum diizinkan melewati hutan. Namun, karena kekuatannya yang luar biasa, Aji Saka berhasil menghindari semburan api dari iblis itu. Setelah Aji Saka berdoa, cahaya kuning dari langit menghantam iblis di hutan, dan iblis itu mati.
Akhirnya, Aji Saka tiba di Medang Kamulan yang sunyi. Di istana, Prabu Dewata Cengkar marah karena Patih Jugul Muda belum membawakannya korban manusia.
Prabu Dewata Cengkar mengaum, “Di mana persembahan hari ini, Jugul Muda? Berani sekali kau menentangku?”
Patih Jugul Muda tergagap, “Maafkan hamba, Yang Mulia… Tidak ada waktu…”
Aji Saka melangkah maju dengan percaya diri, “Prabu Dewata Cengkar, aku datang untuk menawarkan diriku sebagai santapan berikutnya. Tapi aku punya satu syarat.”
Aji Saka menghadapi Prabu Dewata Cengkar dan menawarkan dirinya untuk dimakan oleh raja dengan imbalan tanah seluas sorbannya.
Prabu Dewata Cengkar menyipitkan matanya, “Dan apa syarat itu, anak bodoh?”
“Aku hanya meminta sepetak tanah seluas sorbanku. Ukur tanahnya, lalu kau boleh memakanku,” jawab Aji Saka.
Prabu Dewata Cengkar menyeringai, “Baiklah, tapi ketahuilah bahwa kata-katamu yang cerdik tidak akan menyelamatkanmu dari takdirmu.”
Dia memberi isyarat agar pengukuran dimulai. Saat sorban dibuka, sorban itu terus membentang, meluas ke seluruh halaman istana dan melampauinya. Ekspresi Prabu Dewata Cengkar berubah menjadi marah dan takut.
Prabu Dewata Cengkar berteriak, “Tipu muslihat apa ini? Berani sekali kau menipuku?”
Aji Saka menjawab dengan tenang, “Ini bukan tipu muslihat, Prabu. Ini adalah keadilan. Masa kekuasaanmu yang penuh teror berakhir di sini.”
Saat Prabu Dewata Cengkar mengamuk, sorban Aji Saka menciptakan angin kencang yang menghantam tubuh Prabu. Angin yang kuat mulai berputar, mengangkat Prabu Dewata Cengkar dari tanah. Angin semakin kuat, menarik raja menuju balkon istana.
Prabu Dewata Cengkar menjerit ketakutan, “Tidak! Ini tidak mungkin!”
Dengan satu hembusan angin terakhir, Aji Saka melempar tubuh Prabu Dewata Cengkar. Prabu Dewata Cengkar terlempar ke langit, jatuh ke laut selatan, dan kemudian hilang ditelan ombak.
Aji Saka kemudian diangkat sebagai Raja Medang Kamulan. Dia membawa ayahnya ke istana.
Aji Saka berbicara kepada rakyatnya, “Rakyat Medang Kamulan, hari ini menandai awal dari era baru. Kita tidak lagi hidup dalam ketakutan. Bersama-sama, kita akan membangun kerajaan yang damai, makmur, dan adil. Biarlah ini menjadi tanah di mana semua orang diterima, dan di mana tidak ada seorang pun yang hidup dalam ketakutan.”
Kerumunan bersorak, “Hidup Raja Aji Saka! Hidup Medang Kamulan!”
Karena pemerintahan yang adil dan bijaksana, Aji Saka memimpin Kerajaan Medang Kamulan memasuki era keemasan, masa di mana rakyat hidup dalam kedamaian, kemakmuran, dan keamanan.
Posting Komentar untuk "Aji Saka"