Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Suri Ikun dan Dua Burung

Pada zaman dahulu, di sebuah pulau bernama Timor, hiduplah seorang petani bersama istrinya dan empat belas anak mereka. Tujuh anak laki-lakinya gagah, sedangkan tujuh anak perempuannya cantik dan tangkas.

Walaupun keluarga ini memiliki kebun yang luas, hasil panen mereka tidak pernah mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hal ini disebabkan karena tanaman di kebun mereka sering dirusak oleh seekor babi hutan yang ganas. Tanaman yang mereka rawat dengan penuh harapan seringkali hancur begitu saja.

Karena putus asa dengan keadaan ini, sang petani meminta ketujuh anak laki-lakinya untuk bergantian menjaga kebun dan mengusir babi hutan itu. Namun, dari ketujuh anak laki-laki itu, hanya Suri Ikun yang berani dan tegas. Keenam saudaranya yang lain, meskipun berbadan besar, sebenarnya penakut dan memiliki sifat iri hati yang mendalam. Setiap kali mereka mendengar suara dengusan babi hutan, mereka langsung lari terbirit-birit meninggalkan kebun, membiarkan tanaman mereka rusak tanpa ada yang melindungi.

Suatu hari, sang ayah memanggil ketujuh anak laki-lakinya dan berkata, "Anak-anakku, kalian harus bergiliran menjaga kebun ini. Babi hutan itu tidak boleh lagi merusak tanaman kita."

Keenam saudara laki-laki Suri Ikun saling pandang dan terlihat ketakutan. "Tapi, Ayah, babi itu sangat besar dan ganas!" keluh salah satu saudara.

"Ayah, kami takut," tambah yang lain.

Namun, Suri Ikun berkata dengan tegas, "Jangan khawatir, Ayah. Aku akan menjaga kebun malam ini."

Malam pun tiba. Saat Suri Ikun sedang berjaga di kebun, terdengar suara dengusan babi hutan yang mendekat. Dengan sigap, ia mengambil busurnya, menarik anak panah, dan membidik dengan tenang. Dengan ketepatan yang luar biasa, ia berhasil memanah babi hutan itu hingga mati. Dengan bangga, ia mengangkat tubuh babi hutan itu dan membawanya pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, keenam saudara laki-lakinya sudah menunggu. Kakak tertua mereka segera mengambil alih daging babi hutan dan mulai membaginya. Karena iri hati, sang kakak tertua memberikan Suri Ikun bagian kepala babi hutan saja.

"Kepala ini milikmu, Suri Ikun," kata sang kakak dengan nada sinis. "Ambil ini dan jangan banyak protes!"

Suri Ikun menerima bagiannya dengan sabar, meskipun ia tahu bahwa kepala babi itu tidak memiliki banyak daging. Namun, hatinya yang tulus tidak menyimpan dendam.

Sang kakak tertua kemudian berbisik kepada saudara-saudaranya yang lain, "Mari kita ajak Suri Ikun mencari batu gerinda milik ayah yang tertinggal di tengah hutan. Kita tinggalkan dia di sana dan lihat apakah ia bisa bertahan!"

Suri Ikun yang tidak curiga mengikuti ajakan kakaknya. Waktu itu hari sudah mulai gelap, dan hutan itu terkenal sebagai tempat bersemayamnya para hantu jahat di malam hari. Dengan perasaan takut bercampur bingung, Suri Ikun tetap mengikuti kakaknya. Namun, ketika mereka semakin dalam memasuki hutan, kakaknya dengan diam-diam berbelok dan kembali ke rumah, meninggalkan Suri Ikun sendirian.

Suri Ikun yang tak tahu rencana jahat kakaknya, terus berjalan masuk ke tengah hutan. Berkali-kali ia memanggil nama kakaknya, "Kakak! Di mana kamu? Aku tidak bisa melihat apa-apa!"

Namun yang menjawab hanya suara-suara misterius yang bergema dari dalam hutan. Suara-suara itu sebenarnya adalah suara hantu-hantu hutan yang berusaha menyesatkan Suri Ikun.

Setelah cukup lama berjalan, Suri Ikun tiba di tengah hutan yang sangat gelap. Di sana, hantu-hantu hutan segera menangkapnya. "Hehehe, kita punya tamu baru," salah satu hantu tertawa jahat.

"Jangan dimakan dulu," kata hantu yang lain. "Ia terlalu kurus. Kita tunggu sampai ia gemuk dulu."

Hantu-hantu itu kemudian mengurung Suri Ikun di dalam sebuah gua gelap. Setiap hari, mereka memberinya makan secara teratur agar tubuhnya menjadi gemuk. Di dalam gua itu, hanya ada sedikit cahaya yang masuk melalui celah di sampingnya, memberi sedikit harapan bagi Suri Ikun.

Dari celah kecil itu, Suri Ikun melihat dua ekor anak burung yang tampak kelaparan. Dengan hati yang penuh belas kasihan, Suri Ikun membagi makanannya dengan burung-burung kecil itu. "Makanlah, burung kecil. Kita harus saling membantu," kata Suri Ikun.

Hari demi hari berlalu, dan kedua burung itu tumbuh menjadi burung yang sangat besar dan kuat. Suatu hari, ketika para hantu membuka pintu gua, kedua burung yang sekarang sudah kuat itu menyerang para hantu dengan ganas.

"Serang mereka! Ini saatnya!" teriak salah satu burung.

Dengan kekuatan yang tidak terduga, mereka melukai hantu-hantu itu dan segera menerbangkan Suri Ikun ke tempat yang aman di daerah pegunungan tinggi.

Di sana, dengan kekuatan gaib mereka, burung-burung tersebut menciptakan sebuah istana yang megah lengkap dengan para pengawal dan pelayan istana. "Di sini kau akan hidup bahagia, Suri Ikun," kata salah satu burung.

Dan benar saja, Suri Ikun hidup dengan damai dan bahagia di istana itu, jauh dari kejamnya saudara-saudaranya dan jahatnya hantu-hantu hutan. Ia telah menemukan kebahagiaan sejati di tempat yang baru, bersama teman-teman yang setia dan jujur. Dan legenda tentang Suri Ikun, pemuda yang baik hati dan pemberani, terus diceritakan turun-temurun di Pulau Timor.

Posting Komentar untuk "Suri Ikun dan Dua Burung"