Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Kancil dan Pak Tani

Suara gemuruh perut terdengar, “Kruukk…krruuk,” Kancil mengelus perutnya yang sudah sejak tadi mengeluh lapar. Tenggorokannya pun terasa sangat kering. Matahari bersinar terik, membuat suhu hari itu terasa begitu panas. Kancil berjalan sendirian di padang rumput. Sebelumnya, dia bersama teman-temannya meninggalkan hutan kecil tempat tinggal mereka yang hangus terbakar. Namun, kini dia seorang diri, ditinggalkan oleh teman-temannya yang telah pergi mencari tempat berlindung yang lebih aman.

Merasa lemas dan pusing karena kelaparan, Kancil akhirnya duduk bersandar di bawah sebatang pohon tua, berharap mendapatkan sedikit keteduhan. Pandangannya mulai berkunang-kunang, dan matanya yang lapar tiba-tiba menangkap sebuah hamparan hijau di kejauhan. Dengan segera dia mengenali tempat itu sebagai ladang Pak Tani, penuh dengan tanaman timun yang segar dan hijau. Air liurnya pun mulai menetes membayangkan rasa segar timun yang akan memuaskan rasa haus dan laparnya.

“Ah, ladang Pak Tani! Aku bisa makan timun di sana,” pikir Kancil dengan mata berbinar.

“Kalau hanya memakan sedikit, pasti tidak akan ada yang marah,” katanya kepada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya.

Tanpa berpikir panjang, Kancil menyelinap melalui celah pagar ladang Pak Tani. Ketika berhasil masuk, ia langsung mendekati tanaman timun yang berbuah lebat. Dengan cepat, dia memetik salah satu timun dan menggigitnya.

“Krrss, hmm, segar sekali,” gumamnya sambil mengunyah. Rasa timun yang segar dan manis segera membuat tenggorokannya terasa lebih lega.

“Satu lagi, ah. Setelah itu, aku akan mencari teman-temanku,” pikirnya lagi.

Namun, timun yang kedua segera diikuti oleh timun ketiga, keempat, hingga tak terasa dia sudah memakan banyak sekali timun. Setelah merasa sangat kenyang, Kancil pun tertidur lelap di bawah pohon di dalam ladang itu.

Ketika terbangun, Kancil terkejut mendapati bahwa matahari sudah mulai terbenam. “Oh tidak, hari sudah sore! Aku harus pergi sekarang,” serunya panik. Ia segera bergegas meninggalkan ladang Pak Tani, tanpa sadar bahwa perbuatannya telah meninggalkan jejak yang jelas.

Keesokan harinya, Pak Tani datang ke ladangnya dan sangat terkejut melihat banyak timun yang hilang dengan hanya sisa sampah kulit ketimun berserakan di tanah.

“Aduh, bagaimana ini,” keluh Pak Tani sambil memegang kepalanya. “Aku tidak jadi panen. Siapa yang berani mencuri timunku?”

Bu Tani mencoba menenangkan,“Tenang, Pak. Mungkin kita bisa mencoba menakut-nakuti pencurinya dengan orang-orangan sawah. Siapa tahu dia takut dan tidak berani datang lagi.”

Pak Tani setuju,“Ide bagus, Bu. Mari kita buat sekarang.”

Dengan segera, mereka membuat orang-orangan dari jerami, mengenakannya dengan baju bekas dan topi caping milik Pak Tani. 

Esok paginya, Kancil kembali datang ke ladang. Namun, ia terkejut melihat sosok Pak Tani berdiri di tengah ladang.

“Apa? Pak Tani berjaga di ladangnya?” gumamnya, agak takut. Dia memutuskan menunggu dari kejauhan sampai Pak Tani pergi, tetapi setelah lama menunggu, sosok itu tidak bergerak sama sekali.

“Hmm, kenapa Pak Tani diam saja?” pikir Kancil. Dengan rasa penasaran, dia memberanikan diri mendekati sosok tersebut.

Setelah mendekat, barulah dia menyadari bahwa itu hanya orang-orangan sawah.

“Hah! Ternyata hanya boneka jerami. Baiklah, aku bisa makan timun lagi,” katanya dengan lega.

Kancil pun makan timun dengan rakusnya sambil bergurau, “Ayo, Pak Tani! Makan bersama denganku!” sambil mengambil topi caping dari orang-orangan itu.

Setelah merasa kenyang, Kancil segera pergi meninggalkan ladang.

Namun, pada sore harinya, Pak Tani kembali terkejut melihat ketimunnya tetap hilang banyak. 

“Ulah siapa lagi ini?” Pak Tani geram, tidak menyangka pencurinya masih datang meskipun sudah ada orang-orangan.

Bu Tani pun menyarankan lagi,“Sepertinya pencurinya sudah tahu kalau itu orang-orangan, Pak. Bagaimana jika kita melumuri orang-orangan ini dengan getah nangka? Pasti si pencuri akan lengket dan ketahuan!”

Pak Tani setuju dengan ide tersebut. Mereka pun melumuri tubuh orang-orangan sawah dengan getah buah nangka yang lengket.

Esok harinya, Kancil datang lagi ke ladang Pak Tani.

“Oh, Pak Tani, kau masih di sini,” ejeknya sambil mendekat. 

Ia mulai memetik timun dan memakannya dengan lahap. Setelah kenyang, Kancil berniat pergi, namun saat hendak berbalik, ia merasa badannya tidak bisa bergerak. Kancil terkejut, mendapati tubuhnya lengket menempel pada orang-orangan sawah yang dilumuri getah nangka.

“Oh tidak! Aku terjebak!” serunya panik. 

Tak lama kemudian, Pak Tani muncul dari balik semak-semak. 

“Ah, jadi kamu yang selama ini memakan ketimunku?” Pak Tani berkacak pinggang sambil menatap Kancil dengan mata marah.

“Ampun, Pak Tani. Maafkan aku. Hutan kecil tempat tinggalku terbakar, dan aku sangat lapar,” Kancil memohon dengan suara bergetar.

Pak Tani mengangguk tapi tetap berkata dengan tegas,“Ya, tapi mencuri tetap perbuatan salah, Kancil. Aku harus memberimu pelajaran. Apa hukuman yang pantas untukmu?”

Bu Tani kemudian memberi usul,“Bagaimana jika kita hukum dia untuk bekerja di ladang selama seminggu dan menanam kembali bibit timun?”

Kancil pun menerima hukuman itu dengan lapang dada. Selama seminggu penuh, dia bekerja dengan rajin di ladang Pak Tani, menanam kembali bibit timun dan merawat tanaman yang ada. Dia berharap perbuatannya itu bisa menebus kesalahan yang telah ia lakukan.

Akhirnya, hari terakhir hukuman Kancil tiba. “Terima kasih sudah bekerja keras, Kancil. Ingatlah, jangan mencuri lagi. Lebih baik berusaha dengan jerih payah sendiri. Ini bekal timun untukmu kembali ke hutan,” kata Pak Tani sambil menyerahkan sekarung timun.

Kancil menerima dengan penuh rasa terima kasih.

“Aku minta maaf sekali lagi, Pak Tani. Terima kasih karena tidak menghukumku lebih berat. Aku berjanji tidak akan mencuri lagi,” katanya dengan tulus.

Dengan bekal ketimun yang diberikan Pak Tani, Kancil kembali ke hutan. Ia tidak hanya memakan ketimun itu, tetapi juga menyisihkan sebagian untuk ditanam di kebunnya sendiri. Kancil belajar dari kesalahannya dan mulai bekerja keras, merawat kebunnya dengan baik agar bisa panen timun sendiri di kemudian hari.

Posting Komentar untuk "Kisah Kancil dan Pak Tani"