Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Kancil dan Jerapah

Suatu pagi di tepi sungai, tiga sahabat – Kambing, Keledai, dan Domba – sedang menikmati segarnya air sungai. Tiba-tiba, terdengar suara keras dari arah belakang. “Awas, minggir!” seru si Jerapah dengan nada angkuh, mengusir mereka dari tempat minum. “Kalian ini mengganggu hakku.”

Kambing yang merasa tidak terima pun berbisik pada Domba, “Memangnya, sungai ini milik dia sendiri?”

“Ssst, nanti kamu ditendang lagi seperti waktu itu,” kata Keledai, berusaha menenangkan Kambing yang mulai gelisah.

Jerapah, dengan sikap sombongnya, mulai memuji dirinya sendiri. “Aah, aku ini memang ganteng. Badanku keren, leherku jenjang, kukuku rapi, buluku halus,” katanya sambil memandangi pantulan dirinya di air sungai yang jernih. “Wajahku, apalagi, selalu bersih bersinar.” Dengan tatapan meremehkan, Jerapah melirik ketiga sahabat itu. “Memangnya kalian? Lihat, deh, sudah tidak tinggi, ditambah badan kalian kotor… issh! Apa sih kelebihan kalian?”

Kambing, yang sudah haus dari tadi, semakin gelisah. “Padahal aku sudah sangat haus,” bisiknya pada Keledai.

Keledai mengangguk, merasakan hal yang sama. Ini bukan kali pertama Jerapah bertindak semena-mena. Dulu, ia pernah menendang Domba hanya karena Domba menegurnya saat si Jerapah menggosokkan kukunya di tumpukan bulu domba. Bulu-bulu itu sebenarnya akan diberikan Domba untuk alas tidur anak-anak kucing hutan yang baru lahir. Akibat ulah Jerapah, bulu-bulu itu menjadi kotor dan tak lagi bisa digunakan. Keledai pun pernah mengalami hal yang sama ketika Jerapah tanpa izin memakan rerumputan yang dikumpulkannya. “Dia selalu menghina dan semena-mena terhadap kita,” keluh Keledai.

Tiba-tiba, datanglah seekor Kancil yang tanpa permisi langsung mendekat ke sungai dan menyeruput airnya. “Aaaah, segar sekali,” ucapnya dengan riang.

“Hey, apa yang kamu lakukan? Ini sungaiku. Tidak boleh ada yang minum saat aku minum,” bentak Jerapah dengan suara sewot.

Kancil hanya tersenyum tipis. “Hah? Siapa bilang?” sahutnya santai. “Sungai ini ada di hutan, dan aku tidak melihat ada papan tulisan yang menyatakan sungai ini milikmu. Jadi, seharusnya semua boleh minum di sini.”

Jerapah, yang merasa tersinggung, membentak dengan lebih keras, “Kamu binatang kecil, jelek, kotor yang menjengkelkan! Aku bisa menendangmu, atau menaruhmu di dahan pohon yang tinggi dengan leherku.”

Kancil tertawa kecil. “Ya, kamu memang tinggi, tapi aku tidak yakin kalau kamu bisa berlari cepat untuk menangkapku.”

“Jangan menantang, kau akan menyesal, Kancil!” teriak Jerapah yang mulai marah.

Kancil, dengan cepat, menjawab tantangan itu, “Ayo, buktikan. Kejar aku sekarang.” 

Tanpa berpikir panjang, Jerapah pun mulai mengejar Kancil yang berlari cepat melewati batu-batu, pohon, dan ilalang dengan gerakan zigzag. Meski kakinya panjang, Jerapah kesulitan mengejar Kancil. Lehernya yang tinggi membuatnya sulit melihat ke bawah, hingga beberapa kali tersandung batu. Ia juga mengalami kesulitan berlari zigzag karena setiap belokan membuatnya kehilangan keseimbangan.

Kancil berlari menuju sebuah gua dan masuk ke dalamnya. Jerapah menyusul, meski merasa ragu karena gua itu semakin dalam, gelap, dan sempit. Batuan stalaktit di atap gua mulai menusuk wajah dan kepala Jerapah. “Aduuuh, kepalaku!” jerit Jerapah. Ia berhenti, merasa kesakitan.

Kancil yang sudah berada jauh di dalam gua, berbalik dan mendengar jeritan Jerapah. Ia mendekat dan bertanya, “Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja, Jerapah?”

Jerapah merintih, “Aduh, kau menginjak badanku.” Kepalanya berdarah, terbaring lemah di lantai gua. 

“Maafkan aku. Disini gelap sekali,” kata Kancil sambil berusaha membantu Jerapah berdiri. “Ayo, aku tolong kau keluar dari sini.”

Dengan susah payah, Kancil memapah Jerapah keluar dari gua. Di luar, Domba, Keledai, dan Kambing sudah menunggu, khawatir dengan keadaan sahabat mereka.

“Teman kalian ini perlu pertolongan pertama, adakah yang bisa?” tanya Kancil.

Keledai mengangguk, “Aku bisa memberikan pertolongan pertama.”

Kambing bergegas, “Aku akan mengambilkan air untuk membersihkan luka-lukanya.”

“Aku akan mengambilkan bulu domba untuk menutup lukamu dan alat P3K,” tambah Domba dengan semangat.

Jerapah yang tak lagi sombong, menangis terharu, “Kenapa kalian baik sekali? Padahal aku selama ini sombong dan semena-mena terhadap kalian.”

Keledai menjawab dengan lembut, “Ya, memang kamu sombong terhadap kami. Tapi dalam keadaan luka begini, dan kamu membutuhkan pertolongan, tidak mungkin kami meninggalkanmu jika kami bisa menolongmu.”

Kancil pun menambahkan, “Setiap makhluk punya kelebihan dan kekurangan, Jerapah. Jika kamu tinggi, kamu bisa mengambil sesuatu dari tempat yang tinggi. Sementara jika kamu pendek, kamu bisa lebih mudah melihat hambatan di bawah. Kita harus saling bekerja sama, bukan saling menghina.”

Jerapah tersenyum, merasa bersyukur atas pelajaran berharga yang ia dapatkan. “Aku minta maaf atas kesombonganku, ya,” katanya tulus. “Mulai sekarang, mari kita berteman.”

Domba, Keledai, dan Kambing tersenyum mengiyakan, senang melihat perubahan hati Jerapah. Sementara itu, Kancil pamit pergi, meninggalkan mereka dengan pesan bahwa persahabatan dan kerjasama adalah kunci untuk hidup damai di hutan.

Posting Komentar untuk "Kisah Kancil dan Jerapah"