Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Timun Mas

Mbok Sirni adalah seorang janda yang sangat menginginkan seorang anak untuk membantunya bekerja. Suatu hari, saat sedang berada di kebunnya, tiba-tiba muncul seorang raksasa besar.

“Hai, Mbok Sirni! Aku tahu kau menginginkan seorang anak,” kata raksasa itu dengan suara menggelegar.

Mbok Sirni terkejut dan ketakutan, tetapi ia memberanikan diri untuk menjawab. “I-iyalah, Tuan Raksasa. Aku sangat ingin memiliki seorang anak.”

“Aku bisa memberimu seorang anak,” kata raksasa itu sambil tersenyum lebar. “Tapi ada syaratnya. Ketika anak itu berusia enam tahun, kau harus menyerahkannya kepadaku untuk disantap.”

Mbok Sirni berpikir sejenak, meskipun hatinya diliputi kekhawatiran, keinginannya untuk memiliki anak lebih kuat. “Baiklah, Tuan Raksasa. Aku setuju dengan syaratmu.”

Raksasa itu lalu memberinya biji mentimun. “Tanamlah biji ini, dan rawatlah dengan baik. Dalam waktu dua minggu, kau akan melihat hasilnya.”

Mbok Sirni menerima biji mentimun itu dan segera menanamnya. Dua minggu kemudian, dari sekian banyak buah mentimun yang tumbuh, ada satu yang paling besar dan berkilau seperti emas.

“Ini pasti buah yang dimaksud oleh raksasa itu,” gumam Mbok Sirni. Dengan hati-hati, ia membelah buah mentimun tersebut. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati seorang bayi cantik di dalamnya.

“Anakku… Kau begitu cantik,” kata Mbok Sirni penuh haru. “Kau akan kuberi nama Timun Emas.”

Tahun demi tahun berlalu, Timun Emas tumbuh menjadi gadis yang sangat jelita. Suatu hari, ketika Timun Emas hampir berusia enam tahun, raksasa itu kembali.

“Mbok Sirni, aku datang untuk menagih janjimu!” kata raksasa dengan suara menggelegar.

Mbok Sirni yang sudah sangat sayang kepada Timun Emas merasa takut dan sedih. “Tuan Raksasa, bisakah kau datang lagi dua tahun kemudian? Anak ini akan lebih besar dan lebih enak untuk disantap jika sudah dewasa.”

Raksasa berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah, aku akan kembali dua tahun lagi. Tapi ingat, jangan coba-coba mengingkari janjimu!”

Waktu berlalu, dan Mbok Sirni semakin khawatir. Suatu malam, ia bermimpi tentang seorang petapa yang dapat menolongnya. Keesokan paginya, ia langsung pergi ke Gunung Gundul untuk mencari petapa tersebut.

“Petapa, tolonglah aku. Bagaimana caraku menyelamatkan anakku dari raksasa itu?” tanya Mbok Sirni penuh harap.

Petapa itu memberikan empat bungkusan kecil kepada Mbok Sirni. “Ini biji mentimun, jarum, garam, dan terasi. Berikan ini kepada Timun Emas, dan katakan padanya untuk menggunakan benda-benda ini jika ia dalam bahaya.”

Sesampainya di rumah, Mbok Sirni segera memberikan bungkusan tersebut kepada Timun Emas. “Anakku, simpanlah ini baik-baik. Jika raksasa itu datang dan mengejarmu, gunakanlah benda-benda ini untuk menyelamatkan diri.”

Dua tahun kemudian, raksasa itu kembali. “Mbok Sirni, aku datang untuk menagih janji!”

Mbok Sirni dengan berat hati berkata, “Timun Emas, pergilah lewat pintu belakang dan gunakan apa yang petapa berikan padamu.”

Timun Emas berlari keluar dari rumah dengan membawa bungkusan pemberian ibunya. Melihat Timun Emas melarikan diri, raksasa segera mengejarnya.

Sambil berlari, Timun Emas membuka bungkusan pertama dan menebarkan biji mentimun. Seketika, hutan di sekitarnya berubah menjadi ladang mentimun yang lebat. “Makanlah ini, Tuan Raksasa!” seru Timun Emas.

Namun, setelah memakan mentimun-mentimun itu, raksasa malah semakin kuat. “Aku akan tetap menangkapmu, Timun Emas!”

Timun Emas kemudian membuka bungkusan kedua dan menaburkan jarum. “Ini untukmu!” katanya.

Dalam sekejap, tumbuhlah pohon-pohon bambu yang sangat tinggi dan tajam. Raksasa terus mengejar meskipun kakinya berdarah-darah. Timun Emas membuka bungkusan ketiga dan menaburkan garam. “Coba lalui ini, Tuan Raksasa!”

Seketika, hutan berubah menjadi lautan luas. Tetapi dengan kesakitannya, raksasa masih bisa melewatinya.

Dengan sisa tenaga yang ada, Timun Emas membuka bungkusan terakhir dan menaburkan terasi. “Ini adalah yang terakhir!”

Seketika, lautan lumpur mendidih terbentuk, dan raksasa yang sudah sangat lelah akhirnya tenggelam dan mati. “Terima kasih, Tuhan, Engkau telah melindungi hamba-Mu ini,” ucap Timun Emas penuh syukur.

Akhirnya, Timun Emas kembali ke rumah dan memeluk Mbok Sirni dengan penuh kebahagiaan. “Kita berhasil, Ibu. Kita selamat.”

Mbok Sirni tersenyum lega. “Syukurlah, anakku. Kini kita bisa hidup bahagia dan damai.”

Dan memang, sejak saat itu, Timun Emas dan Mbok Sirni hidup bahagia dan damai, tanpa ada gangguan dari raksasa lagi.

Posting Komentar untuk "Timun Mas"