Legenda Telaga Bidadari
Sebulan sekali, Awang Sukma berkeliling daerah kekuasaannya. Suatu hari, ia tiba di sebuah telaga yang airnya jernih dan bening, terletak di bawah pohon rindang dengan buah-buahan yang melimpah. Berbagai jenis burung dan serangga hidup dengan riangnya di sekitar telaga itu.
“Hmm, alangkah indahnya telaga ini. Ternyata hutan ini menyimpan keindahan yang luar biasa,” gumam Datu Awang Sukma sambil duduk di tepi telaga, menikmati pemandangan.
Keesokan harinya, saat Datu Awang Sukma sedang memainkan serulingnya, ia mendengar suara riuh rendah dari arah telaga. Ia segera bersembunyi di balik tumpukan batu yang bercelah dan mengintip. Betapa terkejutnya ia saat melihat tujuh gadis cantik sedang bermain air di telaga."Mungkinkah mereka itu para bidadari?" pikir Awang Sukma.
Ketujuh gadis cantik itu tidak menyadari bahwa mereka sedang diperhatikan dan tidak menghiraukan selendang yang digunakan untuk terbang, yang bertebaran di sekitar telaga. Salah satu selendang tergeletak dekat tempat Awang Sukma bersembunyi.
“Wah, ini kesempatan yang baik untuk mengambil selendang itu,” gumamnya.
Mendengar suara dedaunan yang bergerak, ketujuh gadis terkejut dan segera mengambil selendang masing-masing. Saat mereka hendak terbang, salah satu dari mereka tidak menemukan selendangnya dan tertinggal oleh keenam kakaknya. Melihat kesempatan itu, Datu Awang Sukma keluar dari persembunyiannya.
"Jangan takut, Tuan Putri. Sayaa tidak bermaksud jahat," ucap Datu Awang Sukma dengan tenang.
Putri Bungsu terlihat panik. "Siapa engkau? Mengapa kau mengambil selendangku?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Sayaa adalah Datu Awang Sukma, penguasa hutan ini. Sayaa hanya ingin membantu Tuan Putri," jawabnya sambil tersenyum menenangkan.
"Bagaimana aku bisa percaya padamu?" tanya Putri Bungsu, masih ragu-ragu.
"Saya akan membantu menemukan selendang Tuan Putri, jika Tuan Putri bersedia tinggal bersama saya di hutan ini," bujuk Awang Sukma.
Putri Bungsu, yang kehilangan selendangnya, merasa ragu-ragu menerima uluran tangan Awang Sukma. Namun, karena tidak ada pilihan lain, ia akhirnya menerima pertolongan Datu Awang Sukma.
“Baiklah, aku akan tinggal bersamamu, tapi kau harus berjanji tidak akan berbuat jahat padaku,” kata Putri Bungsu.
“Demi kehormatan saya, saya berjanji,” jawab Awang Sukma mantap.
Datu Awang Sukma sangat mengagumi kecantikan Putri Bungsu, dan Putri Bungsu pun merasa nyaman berada di dekat seorang pria yang tampan dan gagah perkasa. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menikah. Setahun kemudian, lahirlah seorang bayi perempuan yang cantik, yang mereka beri nama Kumalasari. Kehidupan keluarga Datu Awang Sukma sangat bahagia.
Namun, suatu hari, seekor ayam hitam naik ke atas lumbung dan mengais padi di sana. Putri Bungsu mencoba mengusir ayam tersebut, namun matanya tertuju pada sebuah bumbung bambu yang tergeletak di bekas kaisan ayam itu.“Apa kira-kira isinya?” pikirnya. Ketika bumbung itu dibuka, Putri Bungsu terkejut dan berteriak gembira. “Ini selendangku!” serunya sambil mendekap selendang itu erat-erat.
Namun, perasaan kecewa dan marah muncul di hatinya, karena suaminya telah menyembunyikan selendangnya. Meski begitu, ia tetap menyayangi suaminya.
Pada suatu malam, saat Awang Sukma sedang duduk di beranda rumah, Putri Bungsu mendekatinya dengan selendang di tangannya.
“Kanda, mengapa engkau menyembunyikan selendangku?” tanyanya lembut, tetapi ada nada kekecewaan di suaranya.
Awang Sukma menunduk. “Dinda, maafkan aku. Aku takut kehilangan dinda. Aku sangat mencintaimu.”
Putri Bungsu tersenyum lembut. “Aku pun mencintaimu, Kanda. Tapi aku juga merindukan keluargaku di kahyangan. Aku harus kembali.”
Awang Sukma terdiam, lalu mengangguk pelan. “Aku mengerti, Dinda. Maafkan aku atas kesalahan ini. Peliharalah Kumalasari dengan kasih sayang di sana.”
Putri Bungsu menggeleng. “Aku tidak bisa membawa Kumalasari. Ia harus tinggal di sini bersamamu. Jaga dan peliharalah ia dengan baik.”
Pandangan Datu Awang Sukma menerawang kosong ke angkasa.“Jika anak kita merindukan dinda, ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul, dan goyangkan bakul itu sambil mengiringinya dengan alunan seruling. Pasti dinda akan segera datang menemuinya,” ujar Putri Bungsu.
Setelah itu, Putri Bungsu mengenakan selendangnya dan seketika terbang ke kahyangan. Datu Awang Sukma hanya bisa menatap sedih kepergian istri tercintanya. Ia kemudian bersumpah untuk melarang keturunannya memelihara ayam hitam, yang dianggapnya membawa malapetaka.
Pesan moral: Jika kita menginginkan sesuatu, sebaiknya kita mendapatkannya dengan cara yang baik dan halal. Jangan mencuri atau mengambil milik orang lain, karena suatu saat kita pasti akan menerima akibatnya.
Posting Komentar untuk "Legenda Telaga Bidadari"