Asal Usul Sungai Jodoh
Suatu hari, saat Mah Bongsu mencuci pakaian majikannya di sungai, ia tiba-tiba berteriak, "Ular!" dengan ketakutan ketika melihat seekor ular mendekat.
Mak Piah yang sedang duduk di tepi sungai mendekat, "Ada apa, Mah Bongsu?" tanyanya.
Mah Bongsu menunjuk ular di dalam air. "Itu, Mak Piah, seekor ular... tapi lihat, punggungnya terluka!"
Mak Piah mendekatkan wajahnya ke permukaan air, melihat ular yang berenang ke sana kemari sambil menunjukkan luka di punggungnya. "Ular itu tidak ganas, Mah Bongsu. Coba ambil dan rawat saja," sarannya.
Dengan ragu, Mah Bongsu memberanikan diri mengambil ular yang terluka itu dan membawanya pulang ke rumah.
Mah Bongsu merawat ular tersebut hingga sembuh. Tubuh ular itu semakin sehat dan semakin besar. Kulit luarnya mulai mengelupas sedikit demi sedikit.
"Mak Piah, lihat kulit ularnya terkelupas," kata Mah Bongsu sambil menunjukkan kulit ular yang terkelupas.
Mak Piah mengangguk. "Coba bakar kulitnya, siapa tahu membawa keberuntungan," sarannya.
Mah Bongsu pun membakar kulit ular itu. Ajaibnya, setiap kali Mah Bongsu membakar kulit ular tersebut, asap besar timbul.
Mak Piah terkejut melihat emas, berlian, dan uang yang tiba-tiba muncul. "Astaga! Dari mana semua ini, Mah Bongsu?"
Mah Bongsu tersenyum, "Saya juga tidak tahu, Mak Piah. Tapi setiap kali membakar kulit ular ini, harta benda datang begitu saja."
Kekayaan Mah Bongsu membuat orang bertanya-tanya. "Pasti Mah Bongsu memelihara tuyul," kata Mak Piah dengan nada cemburu.
Pak Buntal, suaminya, menambahkan, "Bukan memelihara tuyul! Tetapi dia pasti mencuri hartaku!"
Banyak orang penasaran dan berusaha menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu. Namun, menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu ternyata tidaklah mudah. Beberapa orang dusun yang penasaran menyelidiki selama berhari-hari tetapi tidak berhasil menemukan rahasianya.
"Yang penting sekarang ini, kita tidak dirugikan," kata Mak Ungkai kepada tetangganya.Bahkan, Mak Ungkai dan para tetangganya mengucapkan terima kasih kepada Mah Bongsu, karena Mah Bongsu selalu membantu mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Merasa tersaingi, Mak Piah dan anak gadisnya, Siti Mayang, hampir setiap malam mengintip ke rumah Mah Bongsu.
"Wah, ada ular sebesar betis?" gumam Mak Piah.
"Dari kulitnya yang terkelupas dan dibakar bisa mendatangkan harta karun?" gumamnya lagi.
"Hmm, kalau begitu, aku juga akan mencari ular sebesar itu," ujarnya dengan penuh ambisi.
Mak Piah pun pergi ke hutan mencari seekor ular. Tak lama, ia menemukan seekor ular berbisa."Dari ular berbisa ini, pasti aku bisa mendapatkan lebih banyak harta karun daripada Mah Bongsu," pikir Mak Piah dengan serakah.
Ular itu kemudian dibawa pulang. Malam harinya, ular berbisa itu ditidurkan bersama Siti Mayang.
"Saya takut! Ular ini melilit dan menggigitku!" teriak Siti Mayang ketakutan.
Mak Piah menenangkannya, "Anakku, jangan takut. Bertahanlah, ular itu akan mendatangkan harta karun."
Sementara itu, luka ular milik Mah Bongsu sudah sembuh sepenuhnya. Mah Bongsu semakin menyayangi ularnya. Ketika Mah Bongsu menghidangkan makanan dan minuman untuk ularnya, ia tiba-tiba terkejut.
"Jangan terkejut. Malam ini, antarkan aku ke sungai, tempat kita bertemu dulu," kata ular itu, yang ternyata bisa berbicara seperti manusia.
Mah Bongsu pun mengantarkan ular tersebut ke sungai. Sesampainya di sana, ular itu mengungkapkan isi hatinya. "Mah Bongsu, aku ingin membalas budi baikmu yang telah merawatku," ungkap ular itu. "Aku ingin melamarmu dan menjadikanmu istriku," lanjutnya.
Mah Bongsu terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa. Bahkan, ia menjadi bingung.
Ular tersebut kemudian menanggalkan kulitnya dan seketika berubah wujud menjadi seorang pemuda tampan dan gagah perkasa."Jadi, kau adalah manusia?" tanya Mah Bongsu tak percaya.
Pemuda itu tersenyum, "Ya, aku adalah pangeran yang dikutuk. Karena kebaikan hatimu, kutukanku berakhir."
Kulit ular sakti itu pun berubah menjadi sebuah gedung megah yang terletak di halaman depan rumah Mah Bongsu. Tempat itu kemudian diberi nama Desa “Tiban,” yang berasal dari kata “ketiban,” artinya mendapatkan keberuntungan atau kebahagiaan.
Akhirnya, Mah Bongsu melangsungkan pernikahan dengan pemuda tampan tersebut. Pesta pun dilangsungkan selama tiga hari tiga malam, dengan berbagai hiburan yang menarik. Tamu yang datang tak henti-hentinya memberikan ucapan selamat.Di balik kebahagiaan Mah Bongsu, keluarga Mak Piah yang tamak dan serakah sedang dirundung duka, karena Siti Mayang, anak gadisnya, meninggal dipatok ular berbisa.
Konon, sungai tempat pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti yang berubah menjadi pemuda tampan itu dipercaya sebagai tempat bertemunya jodoh. Oleh karena itu, sungai itu disebut “Sungai Jodoh.”
Pesan Moral: Sikap tamak dan serakah akan mengakibatkan kerugian bagi diri sendiri. Sebaliknya, sikap menerima apa adanya, menghargai orang lain, dan rela berkorban demi sesama yang membutuhkan akan membawa kebahagiaan.
Posting Komentar untuk "Asal Usul Sungai Jodoh"