Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sumur Lembusura

Kerajaan Majapahit dipimpin oleh seorang raja yang adil dan bijaksana bernama Raja Brawijaya. Beliau memiliki seorang putri cantik jelita bernama Dyah Ayu Pusparani. Saat itu, sudah tiba waktunya bagi Dyah Ayu untuk memiliki pendamping hidup.

"Anakku, kau harus segera menentukan calon pendampingmu," kata Raja Brawijaya kepada putrinya.

"Ayahanda, mengapa harus terburu-buru? Bukankah hidupku masih panjang?" jawab Dyah Ayu Pusparani, mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Aku hanya ingin melihatmu bahagia, Nak. Sudah waktunya kau memilih seorang yang akan menemanimu," Raja Brawijaya tetap mendesak.

"Ayahanda yang bijaksana, jika Ayahanda menginginkan, biarlah Ayahanda yang memilihkannya untukku," jawab Dyah Ayu akhirnya menyerah.

Untuk menentukan calon suami yang tepat bagi Dyah Ayu Pusparani, Raja Brawijaya merasa kebingungan. Untuk mengatasi masalah ini, ia mengeluarkan sayembara yang segera diumumkan: "Barang siapa yang berhasil merentangkan busur Kyai Garudayaksa dan mampu mengangkat gong Kyai Sekardelima, dialah yang berhak mempersunting Dyah Ayu Pusparani."

Setelah sayembara diumumkan, banyak raja dan pangeran dari berbagai negeri datang untuk mencoba peruntungan mereka. Termasuk raja dan pangeran yang lamarannya pernah ditolak. Bahkan, ada yang tangannya tiba-tiba patah karena memaksakan diri merentang busur Kyai Garudayaksa.

"Aduh, pinggangku patah!" teriak seorang pangeran yang mencoba mengangkat gong Kyai Sekardelima yang besar dan berat itu.

Melihat tak ada satu pun yang mampu memenangkan sayembara, Raja Brawijaya memerintahkan Mahapatih untuk menghentikan sayembara.

“Tunggu! Aku belum mencoba!” seru seorang pemuda berkepala lembu.

Raja Brawijaya mengabulkan permintaan pemuda tersebut. "Siapa namamu?" tanya Raja Brawijaya.

"Lembusura," jawab pemuda itu dengan tegas.

Lembusura kemudian merentangkan busur Kyai Garudayaksa dan berhasil. Tepuk tangan riuh memenuhi alun-alun. Selanjutnya, Lembusura mendekati gong Kyai Sekardelima yang besar dan mengangkatnya seperti mengangkat kapas. Sekali lagi, tepuk tangan menggema tanpa henti.

Namun, di balik kegembiraan Lembusura, Dyah Ayu Pusparani tampak sedih hingga meneteskan air mata.

"Tidak, Ayahanda! Aku tidak mau bersuami dengan orang yang berkepala binatang!" serunya sambil menangis.

Raja Brawijaya yang mendengar ucapan putrinya langsung terdiam. "Putriku, kita harus menepati janji. Ini adalah keputusan yang bijaksana," jawab Raja Brawijaya dengan nada tegas.

Dyah Ayu Pusparani menunduk. "Jika memang harus demikian, Ayahanda," jawabnya dengan suara serak.

Hari pernikahan Dyah Ayu Pusparani dan Lembusura pun ditentukan. Semakin mendekati hari pernikahan, Dyah Ayu semakin resah. Ia tidak mau makan dan minum, tubuhnya semakin kurus, matanya cekung, dan rambutnya mulai rontok. Seorang inang pengasuh setia menemani Dyah Ayu.

"Jika Tuan Putri tidak mau dijodohkan dengan pemuda berkepala lembu itu, Tuan Putri harus mencari jalan keluar," kata Inang Pengasuh.

"Apa yang bisa kita lakukan, Inang? Aku tidak tahu," balas Dyah Ayu putus asa.

"Mintalah syarat, Tuan Putri. Syarat yang sulit dipenuhi," saran Inang Pengasuh.

Mereka berdiskusi untuk mencari jalan keluar terbaik. Inang Pengasuh menyarankan agar Dyah Ayu Pusparani mengajukan syarat kepada Lembusura. Syaratnya adalah Lembusura harus membuat sebuah sumur di puncak Gunung Kelud untuk mandi bersama setelah pernikahan. Dyah Ayu Pusparani setuju dan segera menyampaikan syarat tersebut.

Lembusura menerima syarat yang diajukan oleh Dyah Ayu Pusparani.

"Aku terima syarat ini. Dengan kesaktianku, aku akan membuktikannya!" seru Lembusura dengan penuh semangat.

Pada pagi yang cerah, ia segera menuju puncak Gunung Kelud. Dengan kesaktiannya, Lembusura yakin bisa memenuhi permintaan calon istrinya. Ia mulai menggali tanah dengan tanduknya. Tak lama kemudian, sumur yang digali sudah cukup dalam sehingga Lembusura tak lagi terlihat dari bibir sumur.

Melihat hal ini, Dyah Ayu Pusparani semakin khawatir. "Ayahanda, mohon gagalkan usaha Lembusura membuat sumur," pinta Dyah Ayu Pusparani kepada Raja Brawijaya.

Raja Brawijaya pun mencari cara untuk menggagalkan usaha Lembusura. "Timbun sumur dengan batu-batu besar dan tanah!" perintah Raja Brawijaya kepada para prajurit.

Dalam sekejap, Lembusura terkubur hidup-hidup di dalam sumur. Namun, karena kesaktiannya, ia masih bisa mengancam Raja Brawijaya. "Brawijaya! Engkau raja yang licik! Meskipun ragaku terkubur hidup-hidup di dalam sumur, aku akan membalas kelicikanmu! Setiap dua windu sekali, aku akan merusak seluruh wilayah kerajaanmu!"

Setelah Lembusura mengucapkan ancaman tersebut, suasana kembali tenang, namun ketakutan menyelimuti Raja Brawijaya dan putrinya.

"Ayahanda, apa yang harus kita lakukan?" tanya Dyah Ayu dengan suara gemetar.

"Kita harus bersiap menghadapi balas dendamnya," jawab Raja Brawijaya tegas.

Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan, Raja Brawijaya memerintahkan para prajuritnya untuk membangun tanggul pengaman. Para prajurit segera melaksanakan tugas dan tanggul pengaman segera berdiri kokoh, diberi nama Gunung Pegat. Namun, balas dendam Lembusura tetap datang. Ketika Gunung Kelud meletus, para penduduk percaya itu adalah amukan Lembusura untuk membalas dendam kelicikan Raja Brawijaya.

Pesan Moral: Sebuah janji harus ditepati. Jika tidak, hal buruk bisa terjadi, seperti timbulnya rasa kecewa dan dendam. Maka, janganlah memberi janji kepada siapa pun jika kita tidak bisa menepatinya.

Posting Komentar untuk "Sumur Lembusura"