Asal Mula Bukit Catu
Alkisah, di pedalaman Pulau Bali, terdapat sebuah desa yang subur dan makmur. Sawah dan ladangnya selalu memberikan panen yang berlimpah. Di desa tersebut tinggal seorang petani bernama Pak Jurna dan istrinya. Mereka ingin hasil panen padi mereka lebih banyak daripada sebelumnya.
"Hem, sebaiknya pada musim tanam padi sekarang ini kita berkaul," usul Pak Jurna kepada istrinya.
"Berkaul apa, Pak?" sahut Bu Jurna.
"Begini, jika hasil panen padi nanti meningkat, kita buat sebuah tumpeng nasi besar," ujar Pak Jurna penuh harap. Bu Jurna setuju.
Ternyata hasil panen padi Pak Jurna meningkat. Sesuai dengan kaul yang telah diucapkan, Pak Jurna dan istrinya membuat sebuah tumpeng nasi besar dan mengadakan pesta makan dan minum. Namun, Pak Jurna dan istrinya belum puas dengan hasil panen yang mereka peroleh. Mereka ingin berkaul lagi pada musim padi berikutnya."Sekarang kita berkaul lagi. Jika hasil panen padi nanti lebih meningkat, kita akan membuat tiga tumpeng nasi besar-besar," ujar Pak Jurna, yang didukung oleh istrinya. Mereka pun ingin mengadakan pesta yang lebih meriah daripada sebelumnya.
Ternyata hasil panen padi benar-benar meningkat lagi. Pak Jurna dan istrinya segera melaksanakan kaul mereka. Sebagian sisa panen digunakan untuk membeli hewan ternak oleh Pak Jurna. Namun, mereka masih belum puas. Pak Jurna dan istrinya berkaul lagi bahwa mereka akan membuat lima tumpeng besar jika hasil panen dan ternaknya semakin banyak. Panen berikutnya melimpah ruah, dan ternaknya semakin banyak.
"Suatu anugerah dari Sang Dewata, apa yang kita mohon berhasil," ucap Pak Jurna datar.
Suatu pagi yang cerah, Pak Jurna pergi ke sawah. Saat tiba di pinggir lahan persawahan, ia melihat sesuatu yang aneh."Onggokan tanah sebesar catu?" tanyanya dalam hati. "Perasaanku, onggokan tanah ini kemarin belum ada," gumam Pak Jurna sambil mengingat-ingat. Catu adalah alat penakar beras dari tempurung kelapa. Setelah mengamati onggokan tanah itu, Pak Jurna segera melanjutkan perjalanan mengelilingi sawahnya. Setelah itu, ia pulang ke rumah dan bercerita kepada istrinya tentang apa yang dilihatnya. Ia segera mengusulkan agar membuat catu nasi seperti yang dilihat di sawah. Bu Jurna mendukung rencana suaminya.
"Begini, Pak. Kita buat beberapa catu nasi. Dengan begitu, panen kita akan berlimpah ruah sehingga dapat melebihi panenan orang lain," usul Bu Jurna.
Hasil panen berlimpah ruah. Lumbung padi penuh. Para tetangga Pak Jurna takjub melihat hasil panen yang tiada bandingnya itu."Pak Jurna itu petani ulung," kata seorang lelaki setengah baya kepada teman-temannya.
"Bukan petani ulung tetapi petani beruntung," timpal salah satu temannya sambil tersenyum.
Pak Jurna dan istrinya membuat beberapa catu nasi. Pesta pora segera dilaksanakan dengan sangat meriah. Beberapa catu nasi dibawa ke tempat catu berupa onggokan tanah berada. Namun, Pak Jurna sangat terkejut melihat catu tersebut bertambah besar.
"Baik, aku akan membuat catu nasi seperti catu tanah yang semakin besar ini," tekad Pak Jurna dengan nada sombong. Pak Jurna segera pulang ke rumah dan memerintahkan istrinya untuk membuat sebuah catu nasi yang lebih besar.
Sebuah catu nasi yang dimaksud telah siap dibawa ke sawah. Sambil bersenandung dan diiringi gemericiknya air sawah, Pak Jurna membawa catu nasi besar. Namun setelah tiba di tempat, Pak Jurna terperanjat.
"Astaga! Catu semakin besar dan tinggi!" pekiknya. "Tak apalah. Aku masih mempunyai simpanan beras yang dapat dibuat sebesar catu ini," ujar Pak Jurna dengan tinggi hati.Begitulah yang terjadi. Setiap Pak Jurna membuat catu nasi lebih besar, onggokan tanah berupa catu tersebut bertambah besar dan semakin tinggi. Lama-kelamaan, catu tanah tersebut menjadi sebuah bukit. Pak Jurna dan istrinya pasrah. Mereka sudah tidak sanggup lagi membuat catu nasi. Lantas, apa yang terjadi? Pak Jurna jatuh miskin karena ulah dan kesombongannya sendiri. Akhirnya, onggokan tanah yang telah berubah menjadi bukit itu dinamai Bukit Catu.Moral: Bersyukurlah atas segala sesuatu yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Jangan terlalu rakus dan sombong.
Posting Komentar untuk "Asal Mula Bukit Catu"