Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Legenda Telaga Pasir | Gunung Lawu

Kyai Pasir dan Nyai Pasir adalah pasangan suami istri yang hidup di dalam hutan di lereng Gunung Lawu, tepatnya di sisi timur gunung tersebut. Mereka tinggal di sebuah pondok sederhana yang mereka bangun sendiri dari kayu-kayu hutan dan dedaunan sebagai atap. Meskipun pondok mereka sangat sederhana, Kyai Pasir dan Nyai Pasir merasa aman dan nyaman tinggal di sana. Mereka tidak khawatir akan bahaya yang mungkin mengintai, seperti serangan binatang buas, karena telah lama tinggal di hutan itu dan sangat memahami lingkungan sekitar. Mereka yakin bisa menghadapi segala ancaman yang datang.

Suatu hari, Kyai Pasir pergi ke hutan untuk bercocok tanam di ladang mereka, yang merupakan sumber penghidupan mereka sehari-hari. Ladang itu dipenuhi pohon-pohon besar, sehingga Kyai Pasir harus menebang beberapa pohon terlebih dahulu sebelum bisa mulai menanam. Sambil menebang pohon-pohon besar satu per satu, tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang aneh di bawah salah satu pohon.

“Apa ini?” gumam Kyai Pasir sambil mendekati benda yang menarik perhatiannya.

Di bawah pohon tersebut, ia menemukan sebutir telur ayam yang tergeletak begitu saja. Kyai Pasir mengamati telur itu dengan saksama sambil bertanya-tanya dalam hati, “Telur apa ini? Dari mana asalnya? Tidak ada unggas di sekitar sini.”

"Telur ini aneh sekali. Tidak ada unggas di sini, tapi mengapa ada telur?" gumamnya dengan nada curiga.

Setelah berpikir sejenak, Kyai Pasir memutuskan untuk membawa telur tersebut pulang dan memberikannya kepada Nyai Pasir. Sesampainya di rumah, ia menyerahkan telur itu kepada istrinya dan menceritakan bagaimana ia menemukannya di tengah hutan.

“Nyai, lihat apa yang kutemukan di hutan!” seru Kyai Pasir sambil menunjukkan telur itu.

Nyai Pasir memandangi telur itu dengan rasa ingin tahu. “Telur apa ini, Kakang? Dari mana asalnya?” tanya Nyai Pasir heran.

“Aku menemukannya di bawah pohon besar yang hendak kutebang. Tidak ada tanda-tanda unggas atau binatang lain di sekitar sana. Aneh, bukan?” jawab Kyai Pasir sambil menggelengkan kepala.

“Hmm, mungkin ini rezeki dari alam untuk kita. Bagaimana kalau kita rebus saja telurnya? Siapa tahu ini berkah untuk kita,” usul Nyai Pasir dengan senyum.

Keduanya setuju untuk merebus telur temuan itu. Setelah matang, mereka membagi telur tersebut menjadi dua bagian. Nyai Pasir memberikan separuh telur kepada suaminya, dan Kyai Pasir memakannya dengan lahap.

“Enak juga ya telur ini, rasanya berbeda,” kata Kyai Pasir sambil mengunyah dengan nikmat.

“Iya, rasanya lezat sekali. Seperti ada yang istimewa dari telur ini,” tambah Nyai Pasir.

Setelah menyantap telurnya, Kyai Pasir bersiap kembali ke ladang untuk melanjutkan pekerjaannya menebang pohon dan menanam.

“Nyai, aku pergi ke ladang lagi. Hati-hati di rumah,” pamit Kyai Pasir.

“Baik, Kakang. Jaga diri di sana,” sahut Nyai Pasir sambil melambaikan tangan.

Dalam perjalanan menuju ladang, Kyai Pasir masih merasakan kelezatan telur yang baru saja dimakannya. Namun, setibanya di ladang, ia tiba-tiba merasakan tubuhnya panas, kaku, dan sakit luar biasa. Pandangannya mulai kabur, dan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Rasa sakit itu datang begitu mendadak sehingga Kyai Pasir tidak mampu menahannya dan terjatuh ke tanah.

“Apa yang terjadi padaku?” teriak Kyai Pasir dengan suara lemah, sambil merasakan tubuhnya semakin berat.

Dengan rasa sakit yang semakin menjadi, Kyai Pasir berguling-guling di tanah, kesakitan. Dalam keadaannya yang sangat kritis, tubuh Kyai Pasir tiba-tiba berubah wujud menjadi seekor ular naga yang besar, bersungut panjang, dan berjampang. Naga itu terus berguling-guling tanpa henti, tampak sangat menakutkan.

Sementara itu, di rumah, Nyai Pasir yang juga memakan separuh telur tadi mulai merasakan hal yang sama. Tubuhnya terasa panas, kaku, dan sakit luar biasa. Dia kebingungan, berlari ke sana kemari tanpa arah, mencoba mencari pertolongan.

“Kenapa tubuhku jadi panas dan sakit seperti ini?” jerit Nyai Pasir dengan panik.

Akhirnya, dalam keadaan putus asa, Nyai Pasir memutuskan untuk lari ke ladang untuk mencari suaminya.

“Kakang! Kakang! Tolong aku!” teriak Nyai Pasir sambil berlari dengan susah payah.

Namun, sesampainya di ladang, yang ia temui bukanlah Kyai Pasir, melainkan seekor ular naga besar yang tampak sangat menakutkan. Nyai Pasir terkejut dan ketakutan bukan main.

“Apa ini? Ke mana Kakang Pasir? Mengapa ada ular naga sebesar ini di sini?” pikir Nyai Pasir dengan ngeri.

Namun, rasa sakit yang ia rasakan semakin parah hingga ia tak mampu bertahan dan jatuh pingsan ke tanah. Dalam sekejap, tubuhnya juga berubah menjadi seekor ular naga besar, bersungut, berjampang, dengan gigi panjang dan runcing yang sangat mengerikan.

Kedua naga itu terus berguling-guling dan bergerak dengan liar di tanah ladang, menyebabkan tanah di sekitar mereka menjadi rusak dan bercekung seperti dikeduk-keduk. Cekungan-cekungan itu semakin lama semakin dalam dan luas, sementara kedua naga terus bergeliat dengan dahsyat.

Tiba-tiba, dari dalam cekungan yang dalam dan luas tersebut, menyembur air dengan deras, memancar ke segala arah. Dalam sekejap, cekungan itu sudah penuh dengan air, dan ladang Kyai Pasir berubah menjadi sebuah telaga besar.

“Nyai! Ini kita… kita telah berubah!” teriak naga yang dulunya adalah Kyai Pasir.

“Ya, Kakang… Apa yang telah terjadi pada kita?” jawab Nyai Pasir yang juga sudah menjadi naga.

Telaga ini kemudian dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Telaga Pasir, karena terbentuk akibat ulah Kyai Pasir dan Nyai Pasir yang berubah menjadi naga. 

Posting Komentar untuk "Legenda Telaga Pasir | Gunung Lawu"